Selasa, 06 Januari 2009

Kelangkaan BBM

1 komentar:

  1. Yth. Kang Didin Fatihudin
    berikut saya paste tulisan kertas posisi saat saya masih di Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jatim 2005-2008. sekarang sudah ngga' lagi, meski tetap bantu WALHI Institute Nasional dari Jatim. kebetulan ini tahun itu dimuat juga di KOMPAS Jatim. atur nuhun kang.....

    = = = = = = = = = =


    DIBALIK KRISIS ENERGI DAN BBM LANGKA


    Produksi BBM

    Eksploitasi sumber energi selama ini hanya berorientasi pada pendapatan dan pertumbuhan ekonomi semata. Pemerintah telah mengabaikan tata produksi yang menjamin ketahanan energi nasional (energy security) dan tata konsumsi untuk menjamin keadilan pemanfaatan sumber daya energi kini dan masa depan. Penghisapan sumber daya minyak dan gas juga dipenuhi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta ineffisiensi dalam operasinya[1]. Di banyak kasus, justru negara menderita kerugian.

    Pengolahan minyak mentah menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia hingga saat ini hanya ada 9 kilang minyak. Dengan kapasitas produksi totalnya sebesar 1,057 bph (barel per hari). Ke 9 kilang tersebut adalah : Kilang Pangkalan Brandan, Kilang Cepu, Kilang Dumai, Kilang Musi, Kilang Balongan, Kilang Cilacap, Kilang Balikpapan, Kilang Sungai Pakning dan Kilang Kasim. Produk kilang yang dihasilkan adalah BBM dan non BBM. Produk BBM terdiri atas: JP-5, avgas, avtur, bensin, premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel, dan minyak bakar serta bahan bakar khusus (BBK) yang mencakup bensin super tanpa timbal (super-TT), premix 94, dan bensin biru 2 langkah (BB2L).

    Bahan bakar minyak adalah jenis energi yang paling banyak digunakan di Indonesia. Pada tahun 2000, pemakaian BBM sebagai energi final sebesar 322 juta SBM, sedangkan penggunaan BBM untuk pembangkit listrik sebesar 36 juta SBM. Dari total permintaan BBM sebesar 358 juta SBM, pada tahun 2000 kilang dalam negeri hanya mampu memasok BBM sebanyak 274 juta SBM atau sekitar 756 ribu bph (barel per hari). Sehingga setiap harinya harus mengimpor BBM sebanyak 230 ribu bph.

    Pengembangan kapasitas kilang dalam negeri sangat lambat dalam dekade terakhir ini [Baca Kasus Balongan ]. Sebagai akibatnya kemampuan penyediaan BBM dari dalam negeri semakin menurun. Pada tahun 2000, produksi BBM dalam negeri hanya mampu memasok 80% dari total permintaan BBM. Kekurangan pasokan BBM dari kilang minyak domestik merupakan akibat dari terhambatnya pembangunan beberapa kilang minyak yang tertunda akibat krisis ekonomi. Target produksi minyak mentah Indonesia dalam APBN 2003 diperkirakan hanya mencapai 1,09 juta barel per hari (bph), atau lebih rendah daripada yang ditargetkan 1,27 juta bph[2].

    Pada tahun 2004 menurut data BPH Migas penyediaan BBM dalam negeri diperoleh dari : 75% Kilang dan sisanya 28% impor. Tugas penyediaan dan pendistribusian BBM di dalam negeri kepada Pertamina akan berakhir November 2005. Diharapkan akan terjadi perubahan pasar monopoli ke pasar terbuka. Namun masuknya pemain baru sulit diwujudkan bila harga BBM belum dapat diserahkan kepada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. [Baca Blue Print BPH Migas: Kondisi Pasar Usaha Hilir Migas ].

    Sesuai dengan UU No.22/2001, paling tidak mulai bulan November 2005 atau awal tahun 2006 di Indonesia akan berdiri banyak sekali pangkalan SPBU “POM bensin”, jadi akan beragam nama-nama perusahaan yang akan mendirikannya, tak hanya Pertamina, untuk jenis BBM tertentu investor asing seperti Shell, Petronas[3], Total, Chevron Texaco (Caltex), telah mengantongi izin prinsip dari Dirjen Migas. Menurut data dari Koalisi Advokasi Tambang Jawa Timur (KATa Jatim) tahun 2004, paling tidak saat ini sudah ada sekitar 2000 pihak-pihak yang sudah mengajukan ijin prinsip pendirian SPBU, tapi baru sekitar 200 yang sudah diberikan untuk seluruh Indonesia. Dan untuk Propinsi Jawa Timur sendiri sudah ada 100 lokasi yang di urus perijinannya untuk tempat pangkalan SPBU (stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum). Kenapa banyak sekali yang mengurus di Jawa Timur, karena di Jawa Timur saat ini telah dilakukan eksplorasi “seismik” di beberapa lokasi misalnya, Kabupaten Gresik, Soidoarjo, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Lamongan, Mojokerto, Probolinggo. Bahkan PT. Devon dari Canada, yang sekarang sahamnya dikuasai oleh PT. Pterochina yang berlokasi di Desa Rahayu Kecamatan Sooko Kabupaten Tuban sekarang sudah melakukan eksploitasi.

    Konsumsi BBM

    Konsumsi BBM domestik dalam 10 tahun terakhir menunjukkan kenaikkan rata-rata sebesar 4,8 % per tahun dan diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi domestik dan populasi. Penyediaan BBM dalam negeri : kilang dalam negeri (72%) dan impor (28%). Kilang mengolah minyak mentah dalam negeri dan impor (sekitar 360.000 barel per hari). Konsumsi BBM domestik per wilayah adalah 62% Jawa Bali, Sumatera 20%, Kawasan Lainnya 18%.


    Fakta-Fakta Krisis BBM

    Pertamina tanpa malu telah mendemonstrasikan kegagalannya sebagai pemegang monopoli distribusi BBM di dalam negeri, mempertontonkan ketidakmampuannya menjamin pasokan, khususnya premium dan minyak tanah bagi konsumen di banyak daerah. Hal itu diperparah oleh tertutupnya pihak Pertamina dan penyelenggara negara kepada publik tentang persediaan dan kelangkaan BBM dalam negeri.

    Dalam kurun waktu antara 2000-2004, Jatam mencatat telah terjadi krisis penyediaan bahan bakar minyak sebanyak 47 kali di lokasi yang berbeda. Meski tidak mencerminkan angka statistik sesungguhnya atas terjadinya krisis BBM, tahun 2000 dan 2001 frekuensi terjadinya krisis adalah paling tinggi, yaitu sebanyak 12 dan 14 kali. Meski sempat turun menjadi 6 kali di tahun 2002 dan 3 kali di tahun 2003, krisis BBM melonjak lagi di tahun 2004 kemarin, yaitu 11 kali. Dari krisis yang pernah terjadi, penyebab yang sering jadi faktor pemicu antara lain; adanya penimbunan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan, kenaikan harga BBM, penyelundupan, berkurangnya pasokan dari Pertamina dan oleh faktor-faktor teknis lainnya (kecelakaan, terhentinya produksi minyak akibat kebocoran kilang, keterlambatan distribusi). (lihat lampiran 3). Tentu saja dari peristiwa-peristiwa krisis atau kelangkaan BBM yang pernah terjadi selama ini, merupakan pukulan berat bagi rakyat dari kelompok menengah ke bawah. Ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM atau adanya penimbunan BBM oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, maka dengan serta merta harga bahan-bahan kebutuhan pokok akan melambung. Bahkan, tidak jarang kenaikan harga bahan kebutuhan pokok tersebut sudah berlangsung meski kenaikan harga BBM masih berupa isu. Ironisnya, dalam setiap krisis yang terjadi, rakyat selalu menjadi obyek yang tak berdaya. Protes boleh berjalan, tetapi mereka tak punya kekuatan untuk menghentikan kebijakan kenaikan harga BBM, menuntut Pertamina yang bertanggungjawab terhadap ketersediaan pasokan BBM, atapun menyeret para pengoplos dan penyelundup BBM ke pengadilan.

    Rakyat selalu menjadi ”ebyek penderita” yang harus diterima oleh rakyat ? Melihat kenyataan selama ini, dapat dikatakan hal ini jauh dari amanat Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat 3 : Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan mempunyai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasasi oleh negara Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.



    Selama ini pemerintah telah mengabaikan tata produksi yang menjamin ketahanan enerji nasional (enerji security) dan tata konsumsi untuk menjamin keadilan pemanfaatan sumber daya enerji kini dan masa depan. Hal ini nampak jelas dari kenyataan bahwa eksploitasi minyak dan gas bumi (migas) selama ini, hanya mengejar pendapatan atau revenue bagi negara. Disisi lain secara berkelanjutan menguntungkan pihak-pihak asing[4] yang menjadi kontraktor tambang migas dengan kontrak-kontrak jangka panjang. Disaat yang sama kegiatan pengurasan sumber migas telah menjadi pembiayaan utama penguasa negara yang dikelola sangat tidak transparan serta dipenuhi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hasil audit PriceWaterhouseCoopers 1999, menemukan bahwa negara telah kehilangan jutaan dollar antara bulan April 1996 hingga Maret 1998. Akibat kerugian yang alami oleh Pertamina, hal ini disebabkan oleh praktek korupsi dan inefisiensi.[5]



    Dalam banyak kasus, negaralah yang menanggung kerugian tersebut. Berikut sebagian dari sedikitnya 156 kasus yang terjadi akibat salah urus pengelolaan sumber daya enerji :

    1. Kasus Krisis Gas di Aceh, Paling tidak negara berpotensi menanggung kerugian mencapai Rp 31,8 miliar per tahun dari pembarayaran deviden PT AAF saja.

    2. Kasus Pertukaran produk gas dan minyak antara ConocoPhilips dan PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) diperkirakan berpotensi merugikan negara sebesar 36 juta dollar AS per bulan. Kerugian itu terjadi karena seharusnya setiap hasil penjualan minyak mentah masuk ke kas negara, tetapi oleh Caltex ditukar dengan gas milik ConocoPhilips.

    3. Kasus penjualan dua tanker raksasa (very large crude carrier), ternyata PT Pertamina akan menuai kerugian. Dana dari penjualan sebuah tanker raksasa sebesar 95 juta dollar AS akan habis jika menyewa selama 10 tahun. Padahal tanker baru punya usia ekonomis 25 tahun.



    Tentunya masih banyak lagi kasus lain, baik yang terungkap kepada publik maupun yang sengaja ditutup-tutupi. Belum lagi dampak tambang minyak dan gas terhadap masyarakat dan lingkungan di wilayah hulu, yang meliputi kemiskinan, kerusakan Lingkungan dan pelanggaran HAM.



    Ketidak adilan dan Pemiskinan di wilayah Hulu

    Dalam 3 tahun terakhir, pemasukan sektor Migas mencapai 25% keseluruhan penerimaan negara, yaitu sekitar RP 70 – 80 trilyun, belum termasuk ongkos kerugian rakyat dan negara, akibat kerusakan ekologis serta dampak negatif lainnya didaerah hulu. Hingga Februari 2004, angka kemiskinan tercatat 16,6 persen atau terdapat 36,1 juta penduduk miskin di antara 217 juta penduduk Indonesia. Yang menarik dicatat, penduduk miskin ini terakumulasi pada wilayah-wilayah ekstraksi, dimana TNC’s migas menghisap sumber migas. Wilayah tersebut adalah Nangro Aceh Darussalam (dimana terdapat 9 petusahan migas); Riau (terdapat 21 perusahaan migas); Sumatera Selatan (terdapat 22 perusahaan migas); Babelan Bekasi-Jabar; Jawa Timur (terdapat 13 perusahaan migas); Kalimantan Timur (terdapat 19 perusahan migas). Tak hanya pemiskinan, kawasan-kawasan ekstraski migas ini juga tinggi catatan pelanggaran HAM nya.





    Potret Pemiskinan dan Laju Penghasilan TNC Migas

    Exxon Mobil (USA) memiliki anak cabang di Indonesia dengan nama Exxon Mobil Oil Indonesia (EMOI) dengan kendali saham sebesar 100% terhadap anak cabangnya. Exxon juga memiliki saham PT Arun yang mengoperasikan pabrik pengolahan gas sebesar 35%. Sedangkan 55% saham dimiliki oleh perusahaan minyak dan gas negara, Pertamina. Sisanya sebesar 10% dimiliki oleh Japan Indonesia LNG Company Ltd. Jumlah keuntungan yang diraih Exxon pada tahun 2000 mencapai nilai sebesar US $ 210 milyar, dimana sebesar US $ 1 Milyar setiap tahunnya disetor untuk pemerintahan Jakarta. Ironisnya, hingga Januari 2000, tercatat 59.192 KK tergolong prasejahtera di Kab Aceh Utara. Jumlah tertinggi di antara kabupaten dan kota di Provinsi NAD. Padahal, di wilayah ini pertama kali ditemukan ladang migas di Aceh, milik Exxonmobil. Tahun 2001, Raksasa minyak Amerika Serikat, Exxon Mobil, digugat di pengadilan Amerika atas keterlibatan mereka dalam pelanggaran HAM yang dilakukan tentara Indonesia di Aceh. (International Labor Rights Fund).





    Siapa Dibalik Kebijakan Kenaikan Harga BBM dan Kenapa BBM Langka?

    Agenda restrukturisasi sektor enerji yang digulirkan pemerintah sejak tahun 2000 lalu, merupakan agenda yang terkait dengan skema hutang dari IMF dan Bank Dunia kepada Indonesia. Sejak mengucurnya bantuan sebesar 260 juta dollar AS, serta bantuan sebesar lima mlyar dollar AS dalam tiga tahun setelahnya[6]. Apa imbalannya ? Di sektor enerji, pemerintah Indonesia gencar melaksanakan program restrukturisasi sektor enerji. Dijelaskan bahwa restrukturisasi enerji ini merupakan bagian dari proses reformasi ekonomi untuk mendorong peningkatan efisiensi ekonomi nasional. Restrukturisasi enerji pada intinya adalah reformasi harga enerji dan reformasi institusional dalam pengelolaan enerji[7]. Salah satu hasilnya adalah UU Migas No 22 tahun 2001, yang melegitimasi pemangkasan wewenang negara secara utuh dalam mengelola sumber daya enerji. Pengelolaan didaerah ekstraksi (hulu) telah sejak lama dikuasai pemain asing, kini semakin lengkap dengan penguasaan ritel distribusi didaerah hilir.



    Menurut data BPH Migas (2004), penyediaan BBM dalam negeri diperoleh dari : 75% Kilang dan Sisanya 28% Impor. Tugas penyediaan dan pendistribusian BBM di dalam negeri kepada Pertamina akan berakhir November 2005. Diharapkan akan terjadi perubahan pasar monopoli ke pasar terbuka. Namun kan sulit bagi pemain baru asing untuk masuk jika harga bbm masih di subsidi atau lebih murah dari harga pasar dan tanpa “mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar” [8]. Padahal pada November 2005 POM bensin akan beragam tak hanya Pertamina, untuk jenis BBM tertentu investor asing seperti Shell, Petronas[9], Total, Chevron Texaco (Caltex), telah mengantongi izin prinsip dari Dirjen Migas. Sehingga upaya mendongkrak “harga bbm” dalam negeri agar mendukung “mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar” harus segera didorong. Menaikkan Harga BBM adalah salah satu langkah utama. Jadi untuk siapa kebijakan ini? Demi rakyat atau demi melayani perusahaan multinasional ?



    Kebijakan menaikan harga BBM telah menodai rasa keadilan bagi rakyat karena sebelumnya pemerintah justru mengurangi PPN BM untuk pengusaha makanan dan minuman. Pukulan terberat harus dipikul oleh rakyat kelompok menengah ke bawah. Naiknya harga BBM memicu kenaikan harga-harga bahan pokok, angkutan dan lain-lain, sementara pendapatan serta daya beli masyarakat tidak sebanding dengan kenaikan tersebut. Kebijakan pemerintah yang menaikkan bahan bakar minyak (BBM) sejak 1 Maret 2005, telah menaikkan jumlah penduduk absolut miskin dari 17 juta orang menjadi 40 juta orang (Republika,1 Maret 2005).



    Penting diingat, kenaikan BBM 1 maret 2005 tiga bulan kemarin, masih sebagai tahap awal untuk menambah beban berat masyarakat menengah kebawah, secara bertahap penguasa negara akan meanikkan harga BBM hingga dua atau tiga tahap lagi hingga memungkinkan perusahaan asing masuk dalam ritel BBM pada November 2005. Potret rapuhnya ketahanan enerji bangsa ini semakin nyata dengan dikuasainya sektor hulu dan hilir oleh pihak asing. Jika tidak mau merebut dan melakukan reformasi mendasar pengelolaan sumber daya enerji, maka keruntuhan bangsa ini semakin dekat, saat sumber air, pangan dan enerjinya dikuasai asing (JATAM, Breifing Papeer 2004).



    Dapat dikatakan bahwa seluruh kebijakan negara atas sumber daya energi pada intinya, melayani kebutuhan para kontraktor atau perusahaan yang bergerak di sektor energi. Tidak sama sekali berpihak pada rakyat. Sebagai contoh: dengan berlakunya UU Migas 22/2001 tentang minyak dan gas, telah disepakati dan berikan keleuasaan oleh pemerinrah Indonesia bahwa Pertamina tidak lagi menjadi satu-satunya “pemain” di sektor hilir. Bahwa para pemain “internasional” juga diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk ikut jadi pemain “hilir atau pengecer” dengan melakukan distribusi dan penjualan secara eceran. Maka kita tinggal siap-siap dengan menunggu sampai pada bulan November 2005 nanti pasar retail BBM di Indonesia sudah resmi akan dibuka bagi perusahaan swasta (asing)[10]. Khusus diseluruh Jawa telah ada hampir 1.500 pihak yang sudah mengajukan ijin pendirian SPBU “Pom Bensin”. Tentu saja yang mengajukan adalah para Perusahaan swasta asing, yangsudah memiliki kapasitas dan modal besar untuk dapat menguasai pasar, dibanding dengan swasta nasional.



    Dengan naiknya BBM bulan maret kemarin, tidak lain sebagai upaya menyiapkan pasar dan keuntungan besar bagi mereka[11]. Jadi sebenarnya “kelangkaan BBM” yang saat ini terjadi di beberapa wilayah Propinsi Indonesia, mulai dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Pekanbaru, Sumetera Utara dan Propinsi lainnya, adalah sebuah skenario besar dari pemilik modal internasional yang mau menjadi pemain hilir/pengecer di Indonesia, kelangkaan BBM sengaja dibuat untuk membuat kesan “ketrgantungan pada pengecer”.

    Ada semacam pra kondisi bagi masyrakat luas untuk diajak menyaksikan dan merasakan krisis BBM adalah terjadi karena lemahnya pengawasan negara, sementara keterlibatan para pengusaha swasta tidak tersentuh sama sekali. Padahal jika kritisi dengan cermat, sebenarnya ini adalah sebuah “test case” atau uji coba oleh para pemain baru di sektor hilir ini, bahwa yang namanya masyarakat tetap tidak akan bisa menghindar dari kenaikan harga BBM meskipun harganya berlipat-lipat semakin mahal, seperti yang terjadi saat ini di Kalimantan timur dan beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang harga BBM mencapai Rp. 5000/liter. Ini artinya pada saatnya nanti “paling cepat November 2005 atau awal tahun 2006” ketika BBM dinaikkan kembali masyarakat tidak perlu panik, buktinya pada saat kelangkaan kemarin atau saat ini dengan harga yang bermacam-macam selisihnya. Sebab satu hal yang membuat para pemain ini belum bisa bermain secara resmi menjadi “pemain hilir/pengecer” di Indonesia, jika harga BBM yang di ecer di Indonesia tidak dibuat sama dahulu dengan harga pasar Internasional, atau paling tidak mendekati. Meskipun untuk menjual di Indonesia mereka tetap akan diuntungkan dengan upah buruh murah dan perijinan surat-surat penting dari birokrasi yang mudah. Dan adanya jaminan pasar yang mengiurkan dari tatal penduduk Indonesia yang sekarang saja sudah mencapai 220 juta jiwa, belum jika 20 tahun lagi ketika penduduk Indonesia akan semakin bertambah, bisa saja menjadi dua kali lipatnya.



    Di dalam UU 22/2001, tentang migas yang draftnya waktu itu RUU Migas di siapkan oleh menteri sumber daya enerji dan mineral Susilo Bambang Yudhoyono. Yang merubah secara endasar peran pertamina dan memberi peluang sebesar-sebarnya kepada pemodal “asing” untuk menjadi pemain di sektor hulu dan hilir migas. Adalah konsekwensi atas dikurangi perannya negara akibat restrukturisasi dan privatisasi atas tuntutan Internasional. Tapi jauh sebelum lahirnya kebijakan itu, negara ini dengan suka cita telah mengikat kontrak-kontrak penjualan sumber daya energi ke negara-negara asing. Pada tahun 1968 disahkan UU no.11 tentang pertambangan, yang juga sudah memberikan sektor mineral dan kekayaan alam kepada para pengusaha dan perusahaan tambang internasional. Hadirnya UU Migas yang berwatak export minded makin memperkokoh usaha pengurasan sumber daya energi dari bumi pertiwi. Hingga tidak heran, jika marak dilakukan kontrak penjualan besar dan dalam kurun waktu yang panjang atas sumber daya energi. Pasaran minyak mentah (crude oil) Indonesia hingga saat ini terbesar adalah Jepang dan Korea Selatan. Dalam tabel dibawah ini dapat dilihat jumlah ekspor minyak mentah dan kondensat produksi Indonesia ke berbagai negara.



    Crude and Condensate Exports by Destination (1,000 barrel)







    Agenda yang harus dilakukan

    Pertemuan Ciloto (2003) salah satunya menghasilkan rekomendasi kepada pemerintah untuk menyusun Kebijakan Pengelolaan dan Pencadangan Mineral Untuk Masa Depan dengan memperhatikan kebutuhan konsumsi dalam negeri. Pembuatan Kebijakan pencadangan ini harus dilakukan melalui, pertama Penghitungan kembali (rekalkulasi) kekayaan tambang dan sumber energi fosil di seluruh kepulauan. Kedua, Penghitungan konsumsi dasar energi dan bahan tambang dalam negeri berdasarkan prinsip kebutuhan mendesak rakyat dan keadilan antar gerenasi. Ketiga, Penghitungan kembali daya rusak eksploitasi kekayaan tambang dan sumber energi terhadap kemampuan alam. Keempat, Menetapkan ambang toleransi ekstraksi kekayaan tambang dan sumber energi pada masing-masing daratan dan perairan di Kepulauan Indonesia



    Melihat kondisi energi Indonesia saat ini, ada beberapa hal yang dirumuskan dalam “Mandat Ciloto 2003” yang relevan untuk dilakukan melalui langkah-langkah yang lebih konkrit. Setidaknya ada 6 (enam) point rekomendasi Mandat Ciloto terkait dengan sektor energi Indonesia, yaitu:

    1. Menasionalisasi kembali pengelolaan kekayaan tambang dan sumber-sumber energi

    2. Menghentikan ekspor bahan tambang dan energi fosil serta menghentikan penggunaannya secara berlebihan di dalam negeri;

    3. Mendorong prioritas pengembangan sistem dan kendaraan untuk transportasi massal;

    4. mendorong penataan pola konsumsi rakyat dalam penggunaan dan pemanfaatan bahan tambang secara hemat dan bijaksana;

    5. Mendorong penggunaan energi terbarukan dan pemafaatan ulang (reuse) bahan mineral;

    6. Mendorong dan melindungi industri hilir rakyat melalui peraturan (regulasi) impor dan ambang batas toleransi pemanfaatan hasil tambang;









    ===============

    Identitas Penulis :


    Nama : Ridho Saiful Ashadi
    Pendiri CERAH Institute
    Email : ipulsuroboyo@gmail.com
    kampuscerah@yahoo.co.id

    HP : 081. 5509. 3589

    BalasHapus